#37. Anjangsana Jiwa

Alfina
2 min readDec 11, 2022
Photo by Joanna Kosinska on Unsplash

Waktu dini hari sudah mengetuk masuk, tetapi perempuan itu tak kunjung dihampiri kantuk. Ia sedang bingung. Sedikit linglung. Untung tidak murung. Tetapi jiwanya telah lama mengapung, mengais-ngais mimpi yang serasa buntung. Seperti sigaret yang menyisakan puntung, ia dan waktu sedang terlibat sabung.

Perempuan itu ingin bercerita, sayangnya tak tahu mesti memulai dari mana. Memangnya bagaimana sebuah cerita bermula? Apakah dengan menyulam indah kata demi kata, ataukah dibiarkan mengalir begitu saja? Entah. Lagipula siapa yang sudi menyediakan telinga? Atau mau bersusah payah membaca? Atau sekadar memberi ruang untuk turut merasa?

Semua orang sibuk dengan dunianya. Urusannya. Persoalannya. Masalahnya. Kepentingannya. Tujuannya. Cita-citanya. Targetnya. Prioritasnya. Hidupnya. Kehidupannya.

Semua orang sibuk dengan dunianya
Semua orang sibuk dengan dunia
Semua orang sibuk deng
Semua orang sibuk

Harusnya ia juga mulai sibuk. Sibuk menghadapi kembali masalah yang ditinggalkan dengan tak becus. Sibuk menerima kenyataan dalam memori yang berusaha dihapus. Sibuk menyusun harapan-harapan yang sedikit lagi pupus. Sibuk mengairi sanubari yang telah lama tandus. Harusnya ia mulai sibuk menata kembali hidup yang mandek tak terurus.

Ya, harusnya mungkin begitu.
Tidak, harusnya memang seperti itu.

Bisa, ya?
Seperti kutipan dari salah satu penulis favoritmu, mereka tak pernah hancur atau jadi abu. Mereka hanya menunggu uluranmu, kekuatan hatimu, dan satu lagi rancangan cetak biru. Larilah dalam kebebasan kawanan kuda liar. Hanya dengan begitu, kita mampu memperbudak waktu. Melambungkan mutu dalam hidup yang cuma satu.

Selamat bertambah usia, kawula muda. Telat tiga hari tak apalah. Mari menutup cerita dengan sajak dari penulis yang masih sama. Judulnya Lilin Merah.

Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu.

Keheningan mengapungkan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan. Hening menjadi cermin yang membuat kita berkaca — suka atau tidak pada hasilnya.

Lilin merah berdiri megah di atas glazur, kilau apinya menerangi usia yang baru berganti. Namun, seusai disembur napas, lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah. Hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah.

Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari, kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus. Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap.

Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun setiap hari.

— Dee Lestari (1998)

Makassar, 12 Desember 2022 (00:27)
di kamar 102

--

--